Makassar Buser terkini.com
Saya lahir tahun 1966 di Makassar. Orang berkerumun sampai 1 juta orang pada acara Jalan Gembira Bersama Calon Presiden Anies Rasyid Baswedan dan Calon Wakil Presiden Gus Muhaimin (AMIN), di Jalan Jenderal Sudirman dan sekitarnya, di Makassar, Ahad, 24 September 2023, tak pernah terjadi sebelumnya.
Penduduk Makassar bukan seperti Jakarta atau Surabaya. Hanya sekitar 1,7 juta. Besar kemungkinan pesertanya banyak juga yang datang dari luar Makassar. Namun, mau dari Makassar atau luarnya, bilangan 1 juta tetap angka spektakuler.
Angka ini bukan hanya menunjukkan antusiasme besar, tapi juga menegaskan bahwa tak ada bohir besar terlibat sebagai donatur. Siapa yang mau donasi untuk manusia sebanyak itu tanpa return pasti.
Kerumunan terbesar lainnya yang saya ingat adalah saat Raja Dangdut Rhoma Irama turun kampanye di Ujung Pandang (Makassar sekarang) tahun 1982 untuk PPP. Penjemput yang naik mobil dan motor mengular mulai dari Bandara Hasanuddin (bandara lama di Sudiang Makassar) sampai depan kampus pesantren kami, atau sekitar 10 km. Tapi saat itu jalan ke bandara hanya dua lajur, tidak seperti sekarang yang sudah 4 lajur.
Isu yang berkembang saat itu mirip isu utama AMIN: segera hadirkan perubahan (Orba gagal). Rhoma lalu diarak ke Lapangan Karebosi. Lapangan legend ini kalau penuh diperkirakan mampu menampung orang sekitar 150-200 rb. Diperkirakan, saat itu yang hadir sekitar 250-300 ribu.
Kala itu jumlah penduduk Makassar berkisar 600-700 ribu jiwa. Saya yang hadir waktu itu, melihat jalan-jalan sekitar lapangan penuh sesak dengan manusia. Bahkan meluber sampai mendekati Pasar Sentral dan Bioskop Artis (dekat Konro Karebosi).
Saya yang boncengan motor vespa dengan kakak (alm) berada dalam lapangan, kesulitan bergerak untuk keluar.
Ada kenangan menarik. Saat mau tinggalkan lapangan, saya ketemu guru menggambar saya di pesantren. Beliau ini sebenarnya ASN dan juga dosen di IKIP (UNM sekarang). Pernah beliau bilang di hadapan kami tentang pilihan politiknya, “Saya ini tidak bisa dicucuk begitu saja nak, harus pilih ini itu di Pemilu. Kalau saya dipecat dari ASN, saya tidak khawatir masalah dapur. Saya punya keahlian: saya bisa buka lapak cukur.”
Lapangan Karebosi sesak manusia, semangat dan bergemuruh. Sangat fenomenal. Lalu apa hasil Pemilu? Ya, pemenangnya lagi-lagi partai rezim berkuasa.
Makassar atau Sulsel secara demografis tak lebih banyak dibanding Kabupaten Bogor plus Depok. Bahkan jumlah seluruh penduduk Pulau Sulawesi masih kalah dari penduduk Jateng.
Pemilu sebagai instrumen demokrasi, kerjanya hanya menghitung suara. Antusiasme,semangat, ijazah, kepalan tangan, maupun jingkrak-jingkrak tidak dihitung. Ia murni menghitung suara. Hanya mengandalkan Makassar sangat riskan, karena selain kecil, yang hadir juga mungkin motivasinya tidak semuanya politis.
Ada yang ikut karena alasan olahraga, atau ikut karena diajak teman, hadir untuk lihat keramaian, atau karena kejar hadiah mobil.
Makassar bukan indikator kemenangan. Dan jika survey untuk paket AMIN (Anies Baswedan – Gus Muhaimin) belum juga bergerak ke atas secara signifikan, ya harap maklum.
Fenomena Makassar tak lebih petir membangunkan kesadaran. Mengagetkan tapi belum ada artinya bagi petani di sawah. Hujannya yang menyuburkan bumi justru berada di belahan lain, di Pulau Jawa. Jawa adalah segalanya dalam peta politik Indonesia.
Tahun 1955, Masyumi menang hampir 2/3 dari jumlah provinsi yang ada saat itu. Tapi PNI muncul sebagai pemenang. Kenapa bisa? Ya karena PNI menang di Jawa. Jadi wajar kalau saya komen sama sahabat mukim di Jawa yang muji-muji Makassar, seratus kali Makassar adakan acara seperti itu, masih jauh lebih berharga jika Jakarta, Bandung, Semarang, atau Surabaya, mengadakannya meski hanya sekali.
( Tim Buser terkini.com )